Makrab, Sebuah Cerita
Aku bukanlah seorang pujangga, seorang calon insinyur, maupun seorang malaikat. Aku hanyalah seorang remaja katolik yang sedang mengemban ilmu pendidikan dokter di sebuah universitas penyandang nama panglima besar Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman. Untuk pertama kalinya aku berkelana dalam sebuah komunitas di mana orang katolik bukan kaum mayoritas. Maka untuk pertama kalinya pula muncul suatu dorongan aktif dalam sukmaku agar diriku tidak “kesepian”. Dirangkul dalam kekeluargaan katolik. Itulah keinginan terbesarku, kerinduan terdalamku, dan batu pijakanku agar aku bisa bertahan bertekun dalam iman, persekutuan, dan pendidikanku sendiri.
Mulailah aku berusaha mengenal Umaka (Unit Kegiatan Mahasiswa Katolik) di Universitas Jenderal Soedirman. Pada Jumat-Minggu, 18-20 September 2015 puji Tuhan aku bisa mengikuti semua rangkaian kegiatan Malam Keakraban (Makrab) Umaka dengan lengkap tanpa kekurangan sesuatu apapun. Awalnya aku masih amat sangat bingung apa yang harus kulakukan di hadapan orang-orang yang benar-benar baru kukenal. Sebagai peserta tunggal makrab yang berasal dari Fakultas Kedokteran, aku sendirian. Tetapi aku sungguh membenarkan jika ada istilah “Lo gaakan kesepian di Umaka karena kita tuh keluarga”, karena apa? Karena istilah itu memang valid kebenarannya. Karena saat makrab kemarin tak terhitung sedetik pun kapan aku menemui perasaan kesepian. Aku tidak mengenal perasaan sepi di Umaka. Aku merasa dirangkul, dicintai, dan diperhatikan. Umaka heals me from feeling homesick.
Saat makrab banyak sekali hal-hal yang terjadi dan aku tidak menyesali sedikitpun hal-hal tersebut. Termasuk ngaretnya yang astaganaga parahnya dan rundown acara yang tidak pernah kupahami bagaimana urutan acaranya. Semua itu kusyukuri karena di dalam kondisi tidak menguntungkan sekalipun aku diuntungkan. Aku bisa mengenal teman-temanku, mengenal kakak-kakak tingkat, mengenal fakultas lain, mengenal Umaka dan sejarahnya, dan memperkenalkan diriku sendiri. Seluruh rangkaian kegiatan makrab berkesan bagiku. Dimulai dari doa kontemplasi yang sudah sering kujalani saat aku di asrama dulu. Kegiatan doa kontemplasi itu membangkitkan memoriku akan kehidupan di asrama, I’m feeling like I’m home. Lalu ada pula doa Angelus, sesi pengenalan Umaka, renungan pagi, Outbound naik turun bukit dan menorehkan sebuah bingkisan indah di kakiku (sampai sekarang ternyata kakiku masih keseleo J), berebut kamar mandi dan air yang langkanya seperti mencari ular piton di laut, sharing mandataris Umaka dari mas-mas kece pemimpin perdana Umaka, nyanyi-nyanyi gajelas, penampilan seni yang menginspirasi dari tiap kelompok makrab (yang ini aku juga bingung kelompoknya diadain buat apa, karena pas Outbound kelompoknya beda lagi, pas sesi-sesi lain nggak harus berkelompok, mungkin hanya formalitas belaka (?)), dan mungkin acara api unggun sebagai puncak acara. Biarlah kumerasa dingin dan kembung yang penting acara lancar dan mengeratkan hubungan kami, biarlah Kak Miko main gitar untuk lagu-lagu jadul yang penting semua bisa berusaha bernyanyi dengan senang walaupun liriknya saja tidak hapal, biarlah api unggunnya sudah mati dengan cepat karena kekurangan kayu (sehingga kedinginan, tapi tidak ada yang peka tidak ada yang mengerti kodeku ini) yang penting hatinya tetap hangat karena kebersamaan yang indah.
Intinya, entah bagaimana Umaka telah berhasil mencuci otakku agar aku dengan sukarela berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam organisasi. Aku bercita-cita agar menjadi pribadi yang berpengaruh dalam ketahanan bahkan kemajuan Umaka. Tapi jangan ditagih ya, aku belum berjanji kok, cuma sekadar berangan-angan. Thank you for thousands marvelous experiences here, Umaka, let’s grow our faith in Christ together.
Best regards, Frenka.
Komentar
Posting Komentar