Pulang dan Menyiapkan Hati
Kemarin (16/03), diadakan pengakuan dosa didahului Ibadat bersama di Margasiswa. Meski telat setengah jam yang kadang sudah kedengaran seperti ala mahasiswa, kami memulai Ibadat dengan khidmat dipimpin oleh Frater Rendy yang belakangan eksis di Umaka. Dalam ibadat kali ini, Frater menceritakan kembali kisah mengenai seorang anak yang hilang, yang setelah meminta seluruh harta haknya lalu melarikan diri dan berfoya foya dengan harta tersebut sampai habislah waktu pestanya dan dia kembali pulang dengan rasa penyesalan. Namun sang ayah menyambutnya dengan sukacita, mengampuni dan menerimanya.
Ini bukan kali pertamanya kami mendengar kisah ini, pasti. Namun, mungkin untuk pertama kalinya saya fokus pada kata ‘pulang’ yang disebut berulang ulang. Kata ini begitu kedengaran hangat dan sejuk sekaligus. Seperti semangkuk sup hangat setelah hujan deras. Tapi begitu subjektif. Mungkin saja, kata itu berarti lain untuk orang lain. Bermakna sebuah ketakutan, atau kemarahan, atau kebahagiaan. Tergantung seperti apa makna ‘rumah’ bagi setiap orang.
Kalau saja kisah ini di dramakan, mungkin akan mengharukan sekali. Apaliagi jika dalam frame drama korea yang belakangan hits, produksi air mata si ayah, anak, dan penonton mungkin akan membanjir. Tapi saya tak bisa membayangkannya secara jelas bagaimana perasaan mereka dalam cerita itu dalam latar dua ribu tahun yang lalu. Dalam satu scene yang sama, mungkin akan ada ratusan hal berbeda yang berkecamuk di pikiran kami masing masing, yang mendengarnya.
Kita masing masing, memiliki sisi buruk yang jika dipikir pikir menjadi merasa payah dan pecundang sekali atau jahat pada satu waktu bersamaan. Hal hal ini sepertinya banyak menghasilkan air mata dalam bilik pengakuan. Tetapi kata ‘pulang’ kepada ‘rumah’ layaknya resep obat yang dikeluarkan untuk segala macam penyakit hati itu. Untuk pulang itu, kami diarahkan untuk mengambil jalan yang mana dan naik kendaraan apa supaya sampai ke rumah. Lebih umum disebut penitensi. Seperti yang kita tahu, sebentar lagi akan ada perayaan besar di dalam rumah, dan kami pasti berharap semua orang sudah ada di dalam rumah saat perayaan berlangsung. Meski kadang ada ketakutan ketika tersesat dan ingin pulang, tetapi pada akhirnya pintu gerbang selalu terbuka ketika kita mencari jalan pulang. Kadang walaupun sedikit tersasar sana sini, rumah tidak pernah kehilangan makna. Seperti si ayah yang menyambut dengan sukacita, mengampuni dan menerima anaknya yang telah berdosa.
Selamat berbenah diri, dan mencari jalan pulang selama masa Prapaskah. Semoga Tuhan memberkati, dan menunggumu di rumah. (Berta'13)
Ini bukan kali pertamanya kami mendengar kisah ini, pasti. Namun, mungkin untuk pertama kalinya saya fokus pada kata ‘pulang’ yang disebut berulang ulang. Kata ini begitu kedengaran hangat dan sejuk sekaligus. Seperti semangkuk sup hangat setelah hujan deras. Tapi begitu subjektif. Mungkin saja, kata itu berarti lain untuk orang lain. Bermakna sebuah ketakutan, atau kemarahan, atau kebahagiaan. Tergantung seperti apa makna ‘rumah’ bagi setiap orang.
Kalau saja kisah ini di dramakan, mungkin akan mengharukan sekali. Apaliagi jika dalam frame drama korea yang belakangan hits, produksi air mata si ayah, anak, dan penonton mungkin akan membanjir. Tapi saya tak bisa membayangkannya secara jelas bagaimana perasaan mereka dalam cerita itu dalam latar dua ribu tahun yang lalu. Dalam satu scene yang sama, mungkin akan ada ratusan hal berbeda yang berkecamuk di pikiran kami masing masing, yang mendengarnya.
Kita masing masing, memiliki sisi buruk yang jika dipikir pikir menjadi merasa payah dan pecundang sekali atau jahat pada satu waktu bersamaan. Hal hal ini sepertinya banyak menghasilkan air mata dalam bilik pengakuan. Tetapi kata ‘pulang’ kepada ‘rumah’ layaknya resep obat yang dikeluarkan untuk segala macam penyakit hati itu. Untuk pulang itu, kami diarahkan untuk mengambil jalan yang mana dan naik kendaraan apa supaya sampai ke rumah. Lebih umum disebut penitensi. Seperti yang kita tahu, sebentar lagi akan ada perayaan besar di dalam rumah, dan kami pasti berharap semua orang sudah ada di dalam rumah saat perayaan berlangsung. Meski kadang ada ketakutan ketika tersesat dan ingin pulang, tetapi pada akhirnya pintu gerbang selalu terbuka ketika kita mencari jalan pulang. Kadang walaupun sedikit tersasar sana sini, rumah tidak pernah kehilangan makna. Seperti si ayah yang menyambut dengan sukacita, mengampuni dan menerima anaknya yang telah berdosa.
Selamat berbenah diri, dan mencari jalan pulang selama masa Prapaskah. Semoga Tuhan memberkati, dan menunggumu di rumah. (Berta'13)
Komentar
Posting Komentar